Senin, 30 Agustus 2010

Setan pun Hafal Al-Quran

MUKADDIMAH

Sejak beredar buku Kiyai Meruqyah Jin Berakting, penulis buku sering menerima pertanyaan dari masyarakat. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang meminta penulis buku tersebut untuk meruqyah baik untuk dirinya maupun yang lainnya karena mereka meyakini bahwa ruqyah adalah doa dan doa adalah bagian dari ajaran Islam.

Kenyataan ini patut kita syukuri karena mereka meyakini bahwa Islam ajaran yang lengkap dan menyeluruh. Oleh karena itu, siapa pun dari kita jika diminta saudara seiman untuk mendoakan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrowi maka sepatutnyalah memenuhi permohonan tersebut. Sungguh berdoa bukan perbuatan yang sulit dan tidak pula memerlukan waktu khusus dan kita meyakini bahwa sesungguhnya Allah senantiasa menanti siapa pun yang memohon kepada-Nya di mana pun mereka berada.

Yang patut diperhatikan adalah: apakah praktik meruqyah yang berlangsung di beberapa tempat dan yang sering kita saksikan di layar televisi itu semuanya sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. atau ada yang menyimpang? Kendatipun yang dibaca para peruqyah itu adalah ayat-ayat Al Quran dan doa-doa dari Rasulullah saw. namun cara yang mereka lakukan masih dipertanyakan, apakah semuanya sesuai dengan cara yang berlangsung pada zaman Rasulullah saw. dan sahabatnya?.

Buku ini mencoba untuk membahas beberapa pertanyaan yang paling sering muncul dan dirasa perlu untuk diprioritaskan pembahasannya.

Semoga buku soal-jawab ini bermanfaat bagi masyarakat dan dapat mengurangi problem mereka yang sering memberi peluang kepada setan untuk mengganggu keharmonisan hidup dan ketenangan beribadah mereka baik yang mengerti agama maupun yang tidak.


1. SETAN JUGA PANDAI MERUQYAH

Masalah:

Ada dua kasus yang perlu dibahas:

* Seorang gadis telah hafal Al Quran atau disebut hafizhah, sejak dikatakan bahwa di dalam dirinya terdapat jin, maka dia sekarang sering melamun. Sungguh kasihan, hafalannya pun sudah mulai banyak yang hilang.
* Ada seorang ibu yang dinyatakan perlu segera diruqyah karena dalam dirinya terdapat jin. Berita ini telah membuat suaminya terkejut, karena merasa kecewa punya isteri yang “mengandung” jin. Secara psikologis hubungan keluarga pun mulai terganggu. Akibat pengaruh berita yang senantiasa mewarnai pandangan suami terhadap isterinya, maka setiap kali suami menemukan perilaku isteri yang tidak sesuai dengan harapannya selalu dia hubungkan dengan jin. Pertnyaannya: Siapakah nama setan yang telah berhasil mengganggu alhafizhah dan menodai keharmonisan keluarga ini?

Pembahasan:

Memang, ketika disebut kata “setan” maka yang sering tersirat dibenak kita adalah sesuatu yang abstrak. Bahkan, sebagian orang mengatakan bahwa setan itu tidak ada selain sifat-sifat buruk yang ada pada manusia. Betulkah demikian? Marilah kita perhatikan firman Allah:

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. 6:112)

Pelajaran dari ayat:

- Pada ayat ini sebutan manusia mendahului sebutan jin, pada ayat–ayat lain jin disebut sebelum manusia . Sungguh hal ini sangat menarik untuk kita tadabburi atau kita hayati, ada isyarat apakah di balik sebutan manusia mendahului sebutan jin. Memang setan dari manusia lebih susah untuk diketahui dan dihindari, karena boleh jadi dia tampil lebih ‘alim, tuturkatanya sangat menakjubkan, bahkan sering tampil sebagai penasihat.

Maka sangat mungkin bagi orang yang kurang wawasan keislaman mudah terjebak dan tergoda hingga terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Karena itu sebutan setan manusia disebut lebih dulu memberi isyarat betapa pentingnya bagi kita untuk lebih waspada, namun pada kenyataannya, malah sebaliknya. Hal itu boleh jadi akibat kurang mengerti siapa sebenarnya setan dari golongan manusia itu.

Menghindar dari setan manusia tidak cukup hanya dengan berlindung menyatakan mohon perlindungan kepada Allah, tetapi juga sangat penting untuk mengenal dan mamahami langkah-langkah setan tersebut, yaitu dengan menambah wawasan keisliman dan memperdalam ilmu tentang Al Quran dan Sunnah serta kejian terhadap sirah nabawiyah. Lalu, kita kaji banding antara prilakunya dengan akhlak Rasulullah saw. dan para sahabat.

- Setan dari golongan manusia adalah musuh para nabi. Jika tingkat para nabi saja telah dimusuhi setan-setan manusia, apalagi tingkatan umatnya yang sering mengalami penurunan keimanan, kurang wawasan keislaman dan tidak mendapat jaminan keselamatan aqidah karena tidak mendapat bimbingan langsung melalui wahyu Ilahi.

- Kata “sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain”. Praktik membisik tidak berarti dengan suara yang didekatkan kepada telinga hingga tidak terdengar selain oleh yang dibisikinya, tetapi juga memberi makna lain seperti setan-setan manusia juga punya tim atau kelompok yang memiliki profesi yang sama dan antara satu dengan yang lainnya saling tukar pengalaman bahkan menjadi satu organisasi yang solid untuk melaksanakan kegiatannya, hingga sulit diterka bila kegiatan tersebut membawa kepada perusakan.

- Bagaimana tidak, sungguh kata-kata mereka sangat menarik dan manakjubkan. Perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Keluar dari lisan mereka nasihat-nasihat yang indah bahkan diperkuat dengan ayat-ayat Allah dan hadis Rasulullah saw. yang merupakan pegangan kaum muslimin di seluruh dunia. Mereka pun fasih membacakan ayatnya dan banyak hafalannya sehingga julukan ustadz atau kiyai tidak diragukan untuk ditujukan kepada mereka .

- Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Kita tidak hanya diperintah meninggalkan perkataan mereka, tetapi kita juga diperintah untuk meninggalkan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa perkataan mereka sangat membahayakan. Sebenarnya, semua perkataan menyesatkan yang terlihat kotor pasti akan dijauhi orang yang sehat. Namun, jika perkataan itu dikemas dengan kata suci maka orang sehat pun dapat menerimanya.

- Dan apa yang mereka ada-adakan. Tentu jika yang mereka ada-adakan itu murni tanpa dikemas dengan tampilan yang menakjubkan atau tidak didukung dengan dalil yang meyakinkan maka orang lain pun akan menjauhinya meski tidak ada perintah Al Quran untuk menjauhinya. Turunnya perintah tersebut memberi isyarat adanya masyarakat yang kurang menyadari akan berbahayanya praktik penipuan yang dilakukan setan-setan manusia dan jin.

Berkaitan dengan sinyalemen di atas, Rasulullah saw. pun mengingatkan kepada seorang sahabat agar senantiasa waspada terhadap gangguan dan bahaya setan manusia dan jin. Sejajar dengan kandungan ayat di atas, Rasul pun menempatkan bahaya gangguan setan dari golongan manusia mendahului bahaya gangguan setan dari golognan jin. Rasulullah saw. bersabda:

Dari Abu Dzar berkata: aku mendatangi Rasulullah saw pada saat beliau berada di masjid. Aku duku (di dekatnya). Maka beliau bersabda: hai Abu Dzar, apakah kamu sudah melakukan shalat. Aku berkata: belum, beluau bersabda: berdirilah lalu shalatlah! Maka aku pun berdiri dan melakukua shalat. Kemudian aku duduk, maka beliau bersabda: hai Abu Dzar berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin. Aku berkata: wahai Rasulullah apakah dari golongan manusia ada setan? Beliau bersabda: ya. …… (HR. Ahmad)

Pelajaran dari hadis:

- Abu Dzar seorang sahabat yang terbina pada madrasah Rasulullah saw. Namun demikian, dia pun masih diingatkan akan bahaya setan manusia dan jin.

- Di samping kedudukan Abu Dzar sebagai sahabat, juga dia baru menyelesaikan ibadah shalat. Artinya dia mendapat pelajaran yang sangat penting dari Rasul saw. dalam kondisi suci, karena dia baru menyelesaikan ibadah shalat di masjid yang jauh dari perbuatan kotor dan keji.

- Pelajaran tersebut ternyata perintah untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan setan. Hal ini memberi isyarat bahwa orang yang suka beribadah setingkat sahabat pun tidak luput dari sasaran setan.

- Yang menggoda orang yang baru selesai shalat adalah setan dari golongan manusia dan jin. Keduanya harus diwaspadai, namun kewaspadaan terhadap godaan manusia harus diprioritaskan, karena tipu daya setan jenis manusia lebih susah untuk diketahui akibat penampilannya yang tidak asing dan menggunakan argumentasi yang meyakinkan.

- Karena susahnya untuk diketahui, maka Abu Dzar pun mempertanyakan, apakah dari golongan manusia ada setan. Dengan dua teks di atas kita menemukan gambaran siapakah setan yang telah berhasil menggoda seorang hafizhah itu. Untuk lebih jelas lagi perlu kita kaji kasus lain yang terjadi akibat yang sama, yaitu:

Seorang wanita bertemu dengan seorang praktisi ruqyah yang mengatakan bahwa dalam diri wanita tersebut terdapat jin yang harus segera dikeluarkan dengan diruqyah. Dengan berita tersebut maka suaminya terkejut yang akhirnya dia sering menghubungkan berbagai prilaku isteri dengan jin, terutama jika dari prilaku wanita tersebut ada yang tidak disenanginya. Sementara wanita tersebut tidak merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Dari hari ke hari maka keharmonisan keluarga pun mulai terusik dan permasalahan terus membesar. Ketika itulah setan dari golongan jin terus membisik ke dalam dada kedua pihak. Begitulah, salah satu program setan adalah mengganggu keharmonisan hubungan antara suami dengan isterinya. Allah berfirman:

Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. (QS. 2:102).

Bagian ayat di atas memberi penjelasan adanya sihir sejak zaman Nabi Sulaiman dan sihir tersebut menggunakan istilah yang dinisbatkan kepada Nabi Sulaiman walaupun jelas berlawanan dengan ajaran yang dibawanya. Maka tidaklah aneh jika sekarang ditemukan pembawa ajaran jahiliyah yang memisahkan seseorang dengan isterinya atau menjauhkan seorang hafizah dengan Al Quran, namun ajaran tersebut menggunakan ayat Al Quran dan sunnah Nabi saw. Itulah kecerdasan setan dari golongan manusia yang mesti diwaspadai sebagaimana Rasul saw. sabdakan kepada Abu Dzar.

Setan dari golongan manusia ternyata lebih berbahaya daripada setan dari golongan jin. Setan dari golongan jin selalu membisik ke dalam dada manusia dengan menggunakan cara yang gaib. Sedangkan setan dari golongan manusia dapat menggoda manusia dengan berkomunikasi langsung menyampaikan kalimat yang menarik dengan tampilan mempesona, mungkin menamakan diri sebagai orang pintar, dukun, para normal bahkan menamakan diri sebagai seorang tokoh agama yang menyampaikan doa-doa yang diambil dari Al Quran dan hadis Nabi.

Oleh karena, itu sangat penting bagi kita untuk lebih waspada menghadapi bahayanya dan yang lebih berbahaya lagi jika, tanpa disadari, kita sendiri terlibat di dalamnya atau termasuk golongannya.

Ya Allah kami berlindung padaMu dari tergelincir, tersesat, berbuat aniaya, dizalimi, bodoh dan dibodohi.

Kesimpulan:

* Seorang yang telah hafal Al Quran tidak berarti otomatis paham Al Quran. Demikian pula orang yang banyak hafal hadis belum tentu dia memahami dan mengamalkan hadis yang dihafalnya. Orang yang sudah hafal dan mengerti pun tetap harus waspada terhadap rayuan dan bujukan setan.
* Setan tidak selalu tersembunyi dan susah dilihat tetapi mungkin saja dia dapat dilihat dengan jelas namun kita tidak mengenalnya karena tampilannya sangat menarik, tutur katanya sangat menakjubkan bahkan menggunakan argumentasi yang meyakinkan. Dialah setan dari golongan manusia.
* Kita akan dapat mengenalnya dengan jelas setelah memperhatikan orang yang mengikutinya, yaitu membuat orang tersebut sibuk dengan hal yang tidak berarti; mengurangi amal shaleh yang biasa dilakukan sebelumnya; terganggu hubungan rumah tangganya; dan lain-lain.
* Adalah termasuk setan peruqyah yang menuduh ada jin pada seorang hafizhah dan seorang ibu rumah tangga, karena dengan tuduhan tersebut dia telah berhasil membuat seorang hafizhah dan seorang ibu menjauh dari kebiasaan baik yang biasa mereka lakukan sebelumnya.

Info Buku:
Judul: Kiai Meruqyah Jin Berakting
Pengararang: SYAIFUL ISLAM MUBARAK
Penerbit: Syaamil Cipta Media
Tahun: 2005

IMAJINASI MANUSIA TENTANG AL-KHIDIR AS

Al-Khidir adalah hamba yang saleh dan disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam Surat Al-Kahfi, yaitu sebagai teman sayidina Musa as. Dimana Nabi Musa as. belajar kepadanya.

Al-Khidir mensyaratkan kepadanya agar bersabar. Maka Musa menyanggupinya. Al-Khidir berkata, “Bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?” Al-Khidir tetap menyertai Musa. Ia adalah seorang hamba yang diberi rahmat oleh Allah dan ilmu dari sisi-Nya. Musa terus berjalan bersamanya dan melihat Al-Khidir telah melobangi perahu. Maka Musa berkata, ”Apakah engkau melubanginya supaya penumpangnya tenggelam?”

Cerita selanjutnya telah disebutkan dalam Surat Al-Kahfi.

Musa merasa heran atas perbuatannya, hingga Al-Khidir menerangkan kepadanya sebab-musabab dari perbuatan yang dilakukan itu. Pada akhir pembicaraannya, Al-Khidir berkata, ”Bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar atasnya.” Maksudnya, semua perbuatan itu hanyalah karena kemauan Allah Ta’ala.

Sebagian orang berkata tentang Al-Khidir:

Ia hidup sesudah Musa hingga zaman Isa, kemudian zaman Nabi Muhammad saw, ia sekarang masih hidup, dan akan hidup hingga Kiamat. Ditulis orang kisah-kisah, riwayat-riwayat dan
dongeng-dongeng bahwa Al-Khidir menjumpai si Fulan dan memakaikan kirqah (pakaian) kepada si Fulan dan memberi pesan kepada si Fulan.

Sama sekali tidak adil pendapat yang mengatakan bahwa Al-Khidir masih hidup – sebagaimana anggapan sementara orang - tetapi sebaliknya, ada dalil-dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, akal dan ijma, diantara para ulama dari ummat ini bahwa Al-Khidir sudah tiada.

Dengan mengutip keterangan dari kitab Al-Manaarul Muniif fil-Haditsish-Shahih wadl-Dla’if
karangan Ibnul Qayyim. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitab itu ciri-ciri dari hadis maudlu, yang tidak diterima dalam agama. Diantara cirinya ialah “hadis-hadis yang menceritakan tentang Al-Khidir dan kehidupannya.” Semuanya adalah dusta.

Tidak satu pun hadis yang shahih.

Di antara hadis maudlu, itu ialah hadis yang berbunyi:

“Bahwa Rasulullah saw. sedang berada di masjid, ketika itu beliau mendengar pembicaraan dari arah belakangnya. Kemudian beliau melihat, ternyata ia adalah Al-Khidir.”

Juga hadis, “Al-Khidir dan Ilyas berjumpa setiap tahun.” Dan hadis, “Jibril, Mikail dan Al-Khidir bertemu di Arafah.”

Ibrahim Al-Harbi ditanya tentang umur Al-Khidir yang panjang dan bahwa ia masih hidup. Maka beliau menjawab “Tidaklah ada yang memasukkan paham ini kepada orang-orang, kecuali setan.”

Imam Bukhari ditanya tentang Al-Khidir dan Ilyas, apakah keduanya masih hidup? Maka beliau menjawab, “Bagaimana hal itu terjadi?” Nabi saw. telah bersabda, “Tidaklah akan hidup sampai seratus tahun lagi bagi orang-orang yang berada di muka bumi ini.” (H.r. Bukhari-Muslim) .

Banyak imam lainnya yang ketika ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab dengan menggunakan Al-Qur’an sebagai dalil:

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal?” (Q.s. Al-Anbiyaa’: 34).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang hal itu, maka ia menjawab, “Andaikata Al-Khidir masih hidup, tentulah ia wajib mendatangi Nabi saw. dan berjihad bersamanya, serta belajar darinya.” Nabi saw. telah bersabda ketika perang Badar, “Ya Allah, jika pasukan ini binasa,
niscaya Engkau tidak disembah di bumi.”

Pada waktu itu mereka berjumlah 313 orang laki-laki yang dikenal dengan nama-nama mereka, nama-nama dari bapak-bapak mereka dan suku-suku mereka. Maka, di manakah Al-Khidir pada
waktu itu? Al-Qur’an dan Sunnah serta pembicaraan para peneliti ummat menyangkal masih adanya kehidupan Al-Khidir seperti anggapan mereka. Sebagaimana firman Allah swt. di atas.

Jika Al-Khidir itu manusia, maka ia tidak akan kekal, karena hal itu ditolak Al-Qur’anul Karim dan Sunnah yang suci. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia datang kepada Nabi saw. Nabi saw. telah bersabda, “Demi Allah, andaikata Musa masih hidup, tentu ia akan mengikuti aku.” (H.r. Ahmad, dari Jabir bin Abdullah) .

Jika Al-Khidir seorang Nabi, maka ia tidak lebih utama daripada Musa as, dan jika seorang wali, tidaklah ia lebih utama daripada Abu Bakar r.a.

Apakah hikmahnya sehingga ia hidup hingga kini – sebagaimana anggapan orang-orang – di padang luas, gurun dan gunung-gunung? Apakah faedahnya syar’iyah maupun akliah di balik ini? Sesungguhnya orang-orang selalu menyukai cerita-ccrita ajaib dan dongeng-dongeng fantastis. Mereka menggambarkannya menurut keinginan mereka, sedangkan hasil dari imajinasinya, mereka gunakan sebagai baju keagamaan. Cerita ini disebarkan diantara sebagian orang awam dan mereka menganggapnya berasal dari agama mereka, padahal sama sekali bukan dari agama. Hikayat-hikayat yang diceritakan tentang Al-Khidir hanyalah rekayasa manusia dan tidak diturunkan oleh Allah hujjah untuk itu.

Adapun mengenai pertanyaan: Apakah ia seorang Nabi atau wali?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Tampaknya yang lebih tepat Al-Khidir adalah seorang Nabi, sebagaimana tercantum pada ayat yang mulia dari Surat Al-Kahfi, “… dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri …”
(Q.s. Al-Kahfi: 82).

Perkataan itu adalah dalil bahwa ia melakukan itu berdasarkan perintah Allah dan wahyu-Nya, bukan dari dirinya. Lebih tepatnya dia adalah seorang Nabi bukan wali.

Qadha dan Qadar

Kita akan membicarakan masalah qadha dan qadar/taqdir.
Jaman rasul tidak ada wacana ttg taqdir, baru jaman
umar muncul istilah tsb, kemudian makin berkembang
ketika jaman khalifah ummayyah setelah khalifah ali.
Saat itu, taqdir dipersepsikan salah. Dulu ketika Ali
wafat maka digantikan putranya Hasan, yg ternyata umat
islam pecah, maka dia mengundurkan diri. Lalu Hasan
digantikan oleh adiknya Husein, nah Husein ini dibunuh
oleh bani ummayyah. Kemudian berkuasalah khalifah
ummayyah mengeser Husein. Demi kepentingan politiknya
maka Ummayyah memberikan wacana kepada umat islam, bhw
terbunuhnya Husein itu sudah merupakan taqdir Allah.
Husein tidak dibolehkan memerintah, buktinya adalah
dia tewas, yg diperbolehkan oleh Allah adl dirinya…
Itulah taqdir, begitu wacana sesat yang dihembuskan
ummayyah. Jadi bagaimana makna tadir itu sebenarnya ?
Kita harus kembali kepada keterangan2 Allah lewat
Qurannya.

Menurut firman Allah dlm quran, segala sesuatu itu
sudah ada ukurannya, sudah ada taqdirnya.. Maka taqdir
adalah sebuah rumusan yang Allah tetapkan/berlaku pada
tiap2 sesuatu. Taqdir bisa dikatakan merupakan sistem
Allah yang Dia terapkan pada apapun di dunia ini.
Taqdirnya air laut adalah apabila dia disinari
matahari sampai lama maka akan menguap menjadi awan.
Taqdirnya api kalo disiram air yang cukup maka akan
mati. Taqdirnya kalo manusia rajin dan sabar maka akan
berhasil, taqdirnya kalo manusia malas maka akan
sengsara hidupnya.

Dengan demikian, alam raya kecuali manusia itu tidak
diberi kesempatan utk memilih taqdir2nya. Sedangkan
manusia diberi kebebasan utk memilih taqdir yg
diinginkannya. Bumi diberikan taqdirnya utk urusan
berevolusi hanya satu utk mengitari matahari, dia tdk
boleh mengitari planet atau bintang2 yg lain, bisa
kacau nanti. Sedangkan manusia silahkan memilih taqdir
utk kehidupannya, hanya Allah menganjurkan utk memilih
taqdir yg terbaik utk dirinya, bukan sekedar taqdir
yang baik, tapi yg terbaik.

Sering terdengar bhw jodoh, rizki dan mati adalah
taqdir Allah, padahal semua yg terjadi di dunia ini
adalah taqdir (rumusan2) dari Allah. Seringkali kita
baru katakan itu taqdir kalao kita mendpt musibah,
padahal apabila kita mendpt kesuksesan dan kebahagiaan
itu juga taqdir dari sekian taqdir yg kita pilih.

Rumusan2 Allah itu tertuang dalam Lauhil Mahfudh yang
mencakup rumusan Qadha dan Qadar/Taqdir tadi. Jadi
Lauhil Mahfudh adalah ibarat sebuah prasasti yang
menyimpan ilmu2 Allah yang terpelihara. Perbedaan
Qadha dan qadar adalah :

Qadha itu adalah rumusan2 Allah secara global, spt
misalkan bahwa tiap makhluk yang bernyawa pasti mati
Qadar/taqdir adalah rumusan2 Allah yang terinci atau
rinciannya, spt misalnya ayam akan mati pada saat apa
dan dimana.

Jadi kesimpulannya adalah qadha dan qadar adalah
sistem Allah yang berlaku di dunia ini pada siapapun
dan apapun. Hanya kita sebagai manusia dipersilahkan
utk memilih taqdir, mau beriman silahkan, mau kafir
juga boleh masing2 ada taqdirnya. Allah menghendaki
kita memilih taqdir yg terbaik buat kita. Sedangkan
alam raya ini tdk bisa memilih taqdirnya.

Nah, alam raya ini sengaja Allah hamparkan di muka
bumi ini agar kita bisa memilih dan menemukan taqdir
yg terbaik utk kita. Pilihan rizki terbaik, jodoh
terbaik, karir terbaik, kesejahteraan terbaik, nasib
yang terbaik dll harus kita usahakan sendiri.

Mengenai nasib yang menimpa manusia, Allah tidak
menentukan tapi manusialah yg menentukan sendiri
nasibnya. Ibaratnya Allah sudah kasih tahu kepada
manusia apabila dia berbuat A maka dampaknya X, tapi
kalo berbuat B maka dampaknya Y. Nah apabila manusia
milih A maka dia akan bernasib X… Jadi bukan Allah
yg menentukan nasib manusia tapi manusianyalah yg
memilih utk itu.

NB :
Doa dapat mengubah taqdir. Allah berfirman Dia mampu
menghapus apa yg sudah ditetapkan, nah dg Doa itulah
taqdir kita akan berubah. Tapi sistem global Allah
tetap tidak akan berubah.

HAKIKAT DARI TASAWUF

Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian
rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar
permasalahan itu.

Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut
berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang
India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri
demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.

Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi
para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia
ada aliran yang bernama Mani’; dan di negeri-negeri lainnya
banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.

Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling
baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta
penggunaan akal.

Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu
terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing
dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya.
Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya
berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera
ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin
Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka,
sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta
meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw.
menegurnya dengan sabdanya:

“Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk
tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul),
dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya.”

Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada
istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar
biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, “Kami amat
jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh
Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang
belum dilakukannya.”

Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan
beribadat sepanjang malam.” Sedang yang lainnya mengatakan,
“Aku tidak akan menikah.” Kemudian hal itu sampai terdengar
oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah
saw. berbicara di hadapan mereka.

Sabda beliau:

“Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan
makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu;
tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan
sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak
senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk
golonganku.”

Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang
berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu
luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati
setiap bagian dalam hidup ini.

Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya
terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan
terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah
dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya
negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.

Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan
masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang
dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan
Islam).

Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam
(perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak
lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka
hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.

Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi
kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan
sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan
iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari
kaum sufi.

Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti
jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan
As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang
menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.

Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak
orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa
mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam,
yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama
di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam
rohani, semua itu tidak dapat diingkari.

Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau
mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang
lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang
dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang
halus dijadikan sumber hukum mereka.

Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya
ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh
ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.

Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang
menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an;
dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan
mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang
menulis sebuah buku yang berjudul: “Madaarijus-Saalikin ilaa
Manaazilus-Saairiin,” yang artinya “Tangga bagi Perjalanan
Menuju ke Tempat Tujuan.” Dalam buku tersebut diterangkan
mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak,
sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail
Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat
Al-Fatihah, “Iyyaaka na’budu waiyyaaka nastaiin.”

Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca
yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.

Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya
dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan
hukum-hukum dari kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang
murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta
kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada
pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan
pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan
jiwa ke tingkat yang murni.

Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan
terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh
tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui
ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama
ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.

Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Tauhid

Pengertian Tauhid
Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada, yuwahhidu. Secara etimologis, tauhid berarti keesaan, maksudnya itikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal, Satu, pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah“ mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah, mengesakan Allah.

Menurut Syekh Muhammad Abduh: Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan padaNya. Juga membahas tentang rasul rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka. Sedangkan menurut Husain Affandi al-Jars mengatakan: “Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan”. Menurut Prof. M. Thahir A. Muin, Tauhid adalah ilmu yang meyelidiki dan membahas soal yang wajib, mustahi, dan jaiz bagi Allah dan bagi sekalian utusan-utusanNya, juga mengupas dalil-dalil yang mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan adaNya zat yang mewujudkan.

Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi lain yang dikemukakan oleh para ahli. Akan tetapi belum ada kesepakatan kata di antara mereka mengenal definisi ilmu tauhid ini. Masalah yang dibahas di dalam ilmu tauhid meliputi mabda (persoalan yang berhubungan dengan Allah), wasitah (masalah yang berkaitan dengan perantara atau penghubung antara manusia dan Tuhan), dan ma’ad (hal-hal yang berkenan dengan hari yang akan datang atau kiamat).

Nama-nama Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid mempunyai beberapa nama penamaan itu muncul sesuai dengan aspek pembahasan yang ditonjolkan oleh tokoh yang memberikan nama tersebut. Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid karena pokok bahasannya dititik beratkan kepada keesaan Allah SWT. Ilmu ini dinamakan pula ilmu kalam karena dalam pembahasannya mengenai eksistentsi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan denganNya digunakan argumentasi-argumentasi filosofi dengan menggunak logika atau mantik. Ketika ilmu ini dinamakan ilmu kalam, para ahli di bidang ini disebut mutakallimin. Ilmu tauhid dinamakan juga ilmu ushuluddin karena obyek bahasan utamanya adalah dasar-dasar agama yang merupakan masalah esensial dalam ajaran Islam. Meskipun nama yang diberikan berbeda-beda, namun inti pokok pembahsan ilmu tauhid adalah sama yaitu wujud Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan denganNya. Karena itu, aspek penting dalam ilmu taauhid adalah keyakinan akan adanya Allah Yang Mahasempurna, Mahakuasa, dan memiliki sifat-sifat keMahasempurnaan lainnya. Keyakinan yang demikian pada gilirannya akan membawa kepada keyakinan terhadap adanya malaikat, kitab-kitab, nabi, dan rasul, hari akhir dan melahirkan kesadaran akan tugas dan kewajiban terhadap Khaliq (pencipta).

Manfaat, Tujuan dan Sumber Ilmu Tauhid
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik dan benar. Apabila tauhid telah dimiliki, dimengerti, dan dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah akan muncul sendirinya. Hal ini nampak dalam pelaksanaan ibadat, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari. Dengan demikian, kepercayaan atau akidah merupakan pokok dan landasan berpikir bagi umat Islam.

Kalau tauhid cuma diketahui, tapi tidak dimiliki dan dihayati, ia hanya menghasilkan keahlian dalam seluk beluk ketuhanan namun tidak berpengaruh apa-apa terhadap seseorang. Sebaliknya, jika seseorang hanya memiliki jiwa tauhid ia akan menjadi sangat fanatik bahkan mungkin terlempar ke luar dari ketauhian yang sebenarnya. Dengan demikian, maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengaku bertauhid saja, tetapi jauh dari itu sebab tauhid mengandung sifat-sifat:
1. Sebagian sumber dan motivator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
2. Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk mengerjakan ibadat dengan penuh keikhlasan.
3. Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan, dan kegoncangan hidup yang dapat menyesatkan.
4. Mengantarkan umat manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.

Dengan demikian, tauhid sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Ia tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup. Kehadiran tauhid sebagai ilmu merupakn hasil pengkajian para ulama terhadap apa yang tersurat dan tersirat di dalam al qur’an dan hadits. Ayat-ayat al qur’an dan hadist-hadist itu mereka teliti secara intensif sehingga mereka berhasil merumuskannya menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Tokoh yang dianggap pemula dalam penyusunan ilmu ini adalah Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari ( 260 – 324 H/ 873 – 935 M ).

Pengertian Iman, Kufur dan Nifak
A. Iman.
Kata iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tasdiq (membenarkan). Iman adalah kepercayaan dalam hati meyakini dan membenarkan adanya Tuhan dan membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, karena iman seseorang mengakui adanya hal-hal yang wajib dan hal-hal mustahil bagi Allah. Iman menjadikan seoarang mukmin berbahagia dan berhak untuk mendapatkan surga Tuhan kelak di akhirat nanti.

Dalam konsep iman terbagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Iman adalah tasdiq di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi/rasul Allah. Menurut konsep ini iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tasdig (membanarkan/meyakini) akan adanya Allah, maka dia sudah disebut orang beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya. Konsep ini banyak dianut oleh mazhab Murji’ah sebagian, Jahamiyah, dan sebagian kecil Asy’ariyah.
2. Iman adalah tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Konsep keimanan seperti ini telah dianut oleh sebagian pengikut Mahmudiyah.
3. Iman adalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Konsep keimanan semacam ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dll.

Dalam agama islam, adanya kepercayaan harus mendorong pemeluknya dengan keyakinan dan kesadarannya untuk berbuat baik dan menjauhi larangan Tuhan oleh sebab itu, seseorang baru dianggap sempurna imannya apabila betul – betul telah di yakinkan dengan hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

B. Kufur
Kata kufur atau kafir mempunyai lebih satu arti. Kufur dalam banyak pengertian sering diantagoniskan sebagai kedaan yang berlawanan dengan iman. Adapun yang dimaksud kufur dalam pembahasan ini adalah keadaan tidak percaya/tidak beriman kapada Allah SWT. Maka orang yang kufur/kafir adalah orang yang tidak percaya/tidak beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis (ateis).

Dengan demikian kufur merupakan keadaan dimana seseorang tidak mengikuti ketentuan-ketentuan syariat yang telah di gariskan oleh Allah oleh sebab itu kufur mempunyai lubang-lubang yang kalau tidak hati-hati seorang manusia akan terjerumus kedalam lubang yang menyesatkan seperti syirik, nifak, murtad, tidak mau bersyukur dan sebagainya.
Allah berfirman:

Artinya:
“Orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (menyatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”.

C. Nifak
Nifak adalah suatu perbuatan yang lahir dan batinnya tidak sama, secara lahiriyah beragama islam, namum jiwanya atau batinnya tidak beriman. Munafik adalah orang yang melakukan perbuatan nifak. Yaitu orang yang secara lahiriyah mengaku beriman kepada Allah, mengaku beragama islam, bahkan dalam beberapa hal kelihatan seperti berbuat dan bertindak untuk kepentingan islam. Tetapi sebenarnya hatinya mempunyai maksud lain yang tidak di dasari iman kepada Allah.
Allah berfirman:
Artinya
“sesungguhnya orang-orang munafik itu di tempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-sekali tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka”.

Ilmu Kalam dan Filsafat

Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam dan Filsafat Untuk Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?

Di antara bid`ah besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia.

Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut mereka hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan, baik dengan mengetahui kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.

Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in. Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:

1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).

Alloh Swt berfirman :

Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al An`am [6]: 114-117)

Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat ini :

“Firman Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah : benar tentang janji-janjiNya dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam berbagai beritaNya dan adil dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar yang disampaikanNya adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau kegamangan. Setiap perintah yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada lagi tandingan selainNya. Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena Dia tidak melarang sesuatu kecuali pasti mengandung mafsadah…”

Di bagian lain beliau menjelaskan :

“Alloh swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang kondisi mayoritas manusia penghuni bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir : 3/1351)

2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.

Kita telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu…”

(Hr. Bukhori: 6429)

Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para sohabat beliau saw.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh rido kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Qs. At Taubah [9]: 100)

Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Alloh akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137)

Alloh Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.

Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang itu (yaitu para sohabat Nabi saw) beriman." mereka menjawab: "Kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 13)

Akan tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak beberapa perkataan mereka yang mulia, di antaranya :

Abu Dzar rda berkata :

“Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw sebutkan ilmu tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)

Waktu seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :

“Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah beristinja?”

Beliau rda menjawab :

“Ya betul”. (Hr. Muslim: 262)

Az Zuhri rhm berkata :

مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اَلرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا اَلتَّسْلِيْمُ

“Dari Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan utuh)”. (Hr. Bukhori: 46)

Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani (plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para nabi dan rosul.

Pantaskah logika kaum musyrikin kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?

Syihristani rhm berkata :

“awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh melaknatnya). Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu (pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Alloh serta kesombongannya dengan bahan mentah asal pencptaanya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16)

Bencana filsafat, ilmu kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93). Akan tetapi titik terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.

Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid, terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium.

Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai “ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.

Seperti halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah dan ilmuan.

Dari sini tampak jelas di hadapan kita bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami Islam.

5. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah. Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”

Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan, kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah contoh lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.

Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf ‘an Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih dianggap orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?

Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):

Akhir langkah logika adalah kekacauan.

dan penghujung usaha dunia adalah kesesatan.

Ruh-ruh yang berada di jasad selalu galau…

Hasil dunia hanyalah kepedihan dan bencana.

Kami tidak mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya begini dan begitu.

Berapa banyak kami melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan sirna.

Berapa banyak gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi gunung tetaplah gunung

Kemudian dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh) aku membaca firmanNya:

Alloh yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy (Thoha:5)

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)

Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh) akupun membaca firmanNya:

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Assyuro:11)

Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)



Kemudian dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang (kebingungan dan penyesalan).

Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia bersyair:

Aku telah mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,

Akupun telah menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian menyesal.

Dan dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun 537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian syairnya yang indah tentang masalah ini adalah:

Wahai Dzat yang melihat sayap nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada lehernya juga sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan yang akan menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.

Semua ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:

Abu Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda tentang hal-hal baru yang diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?” Beliau rhm menjawab : “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru, karena semua itu adalah bid`ah”. (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8 serta Sounul Mantiq: 32).

Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al Qur`an. Beliau rhm berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat `Amr, karena membuat-buat bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu, niscaya seluruh sohabat Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum dan syari`at-syari`at mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan kebatilan”. (Dzammul Kalam : 294)

Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H) berkata :

“Barangsiapa mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia zindiq. Barangsiapa yang mencari makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta. Barangsiapa yang mencari harta dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”. (Dzammul Kalam: 326)

Sehingga Al Imam Syafi'i mengatakan : 'Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.' (Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul Kalam: 356)

Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan)." (Talbis Iblis: 83)

Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf. Wafat : 329 H) rhm berkata :

“Ketahuilah… Tidak ada kezindiqan, kekufuran, keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan dalam agama kecuali disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan peseteruan”. (Syarh as Sunnah : 38)



Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Memahami Islam

1. Sumber agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh dalam bentuk Al Qur`an dan Hadits yang shohih.

Islam diturunkan dan diajarkan oleh Alloh Swt kepada Rosululloh saw, baik dalam lafadz-lafadzNya, cara memahaminya maupun cara menerapkannya. Untuk itu, sumber yang benar dalam agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh sendiri, yaitu Al Qur`an dan hadits-hadits yang shohih. Dalil-dalil prinsip ini adalah firman Alloh Swt :

48. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan pembatas kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Alloh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Alloh hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Alloh-lah kembali kalian semua, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu, (Qs. Al Maidah [5]:48)

Imam Asy Syafi`i rhm berkata :

" ولا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله ، أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، وما سواهما تبع لهما "

“Satu pendapat bagaimanapun tidak akan menjadi keniscayaan kecuali dengan Kitabulloh atau sunnah RosulNya. Selain kedua sumber tersebut hanya mengikuti keduanya.” (Jima` al `Ilm: 11)

2. Ijma` Sohabat adalah hujjah syar`iyyah.

Walaupun satuan sohabat Nabi saw tidaklah ma`sum, akan tetapi ketika mereka bersatu pendapat dalam satu faham atau cara penerapan tertentu dalam agama ini maka kedudukannya adalah ma`sum dan sebagai hujjah syar`iyyah.

Alloh swt berfirman :

Barangsiapa yang berselisih jalan dengan Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. An Nisa [4]:115)

Imam asy Syafi`I rh memberikan kesimpulan tentang ayat ini sangat jelas:

“Alloh menggabungkan ancaman kepada orang yang berselisih jalan dengan Rosul saw bersama orang yang menyelisihi jalan (kesepakatan) orang-orang yang beriman. Seandainya mengikuti selain (kesepakatan) jalan orang-orang yang beriman itu boleh, niscaya Alloh tidak menggabungkan keharamnya dengan menentang Rosul. Mengikuti selain jalan (kesepakatan) mereka berarti menyelisihib pendapat-pendapat dan amal-amal mereka”. (Anwar at Tanzil, Baidowi : 1/243)

Rosululloh saw bersabda :

“Alloh tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan selama-lamanya”. (Hr. Al Hakim dalam Mustadroknya: 1/115)



3. Menolak semua bentuk bid`ah, baik bid`ah dalam aqidah, manhaj maupun amal.

Ahlus Sunnah wal Jama`ah berkeyakinan bahwa bid`ah dengan segala bentuknya dalam agama adalah kesesatan yang nyata. Bid`ah adalah semua aqidah atau peribadatan yang mengatasnamakan Islam tetapi tidak disyari`atkan atau diajarkan oleh Islam. Secara umum dan global bid`ah sangat berbahaya, lebih berbahaya daripada maksiat meninggalkan perintah atau melanggar larangan, karena pembuatnya telah menempatkan dirinya sebagai pemegang hak membuat hokum. Walaupun, dari segi satuan-satuannya keberbahayaan bid`ah bertingkat-tingkat.

Alloh swt berfirman :

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menyimpangkan kalian dari jalanNya (yang lurus). yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian bertakwa. (Qs. Al An`am [6] : 153)



4. Semua hadits shohih diterima sebagai dalil dan dasar untuk semua masalah termasuk masalah aqidah, baik hadits itu berderajat mutawatir atau ahad.

Semua ulama salafus solih telah menjadikan hadits Nabi saw yang shohih berasal dari beliau sebagai sumber ilmu dan hokum. Mereka sama sekali tidak membeda-bedakan antara riwayat hadits yang dibawa oleh banyak orang yang berderajat mutawatir atau orang perorang yang tidak mencapai derajat mutawatir.

Alloh Swt berfirman :

apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumanNya. (Qs. Al Hasyr : 7)

Ibnu Hazm rhm berkata :

“Abu Sulaiman, Husein bin Ali al Karobisi , Harits bin Asad al Muhasibi dan ulama lainnya berkata : sesungguhnya khobar satu orang yang adil dari orang yang semisalnya sampai kepada Rosululloh saw meniscayakan keilmuan dan keharusan mengamalkannya. Inilah pendapat yang kami pegang”.

Ahmad Syakir rhm berkata :

“Kebenaran yang didukung oleh dalil-dalil yang shohih adalah pendapat Ibnu Hazm dan para ulama yang sependapat dengan beliau bahwa hadits yang shohih menyampaikan kepada ilmu qot`I, baik yang ada pada salah satu kitab bukhori muslim atau kitab hadits lainnya. Ilmu keyakinan ini adalah ilmu teoritis ilmiyah yang hanya bisa dicapai oleh seorang alim yang luas dalam ilmu hadits serta mengetahui kondisi para perawi dan cacat-cacatnya”. (al Bais al Hasis:39)

5. Wahyu dari Alloh Swt tidak ada yang bertentangan dengan akal yang bersih.

Wahyu Alloh swt adalah kalamNya Yang maha berilmu dan Maha luas ilmuNya, Yang Maha adil lagi Maha bijaksana. Wahyu ini ditujukan untuk manusia-manusia yang berakal dan akallah tempat tugas-tugas keagamaan dariNya diberikan. Jadi tak mungkin wahyu bertentangan dengan akal yang bersih dan sehat. Kalau seakan-akan terjadi secara dzohir ada pertentangan di antara kedunya, maka kemungkinan yang paling meyakinkan adalah akal yang kurang bersih atau kurang tepat dalam memahaminya.

Dan Kami mengutus rosul-rosul hanya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan. (QS. Al Kahfi [18]:56)



6. Beriman kepada semua khabar-khabar goib yang datang dari Alloh melalui Al Qur`an dan As Sunnah dan tidak mempercayai khabar gaib apapun dari selain keduanya.

Sesuatu yang goib adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Hanya Alloh Swt Yang Maha luas ilmuNya yang mengetahui yang goib dan tak ada satu makhlukpun yang mengetahuinya kecuali yang diberitahu atau diajarkan oleh Alloh Swt sendiri, seperti para Nabi dan rosul. Siapapun yang mengaku mengetahui yang goib atau menganalisa dan melahirkan teori-teori tentang yang goib, maka orang itu pendusta dan telah melakukan kesyirikan yang amat besar.

Alloh Swt berfirman:

Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Alloh ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepada kalian bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)?" (Qs. Al An`am [6]:50)

Dan pada sisi Alloh-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Qs. Al An`am [6] : 59

Minggu, 29 Agustus 2010

Abdullah bin Mas’ud

Ia adalah orang yang pertama kali mengumandangkan Al-Qur’an dengan suara merdu.

Sebelum Rasulullah masuk kerumah Arqam, Abdullah bin Mas’ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah SAW. Dengan demikian, ia termasuk golongan pertama yang masuk Islam.

Pertemuannya yang mula-mula dengan Rasulullah itu diceritakannya sebagi berikut:

“Ketika itu saya masih remaja, mengembalakan kambing kepunyaan ‘Uqbah bin Mu’aith. Tiba-tiba datang Nabi Muhammad SAW bersama Abu bakar, dan bertanya, “Hai nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami? “Aku orang kepercayaan,” ujarku, “dan tak dapat memberi anda minuman…!”
Maka sabda Nabi SAW, “Apakah kamu punya kambing betina mandul yang belum dikawini oleh yang jantan…?” “Ada,” ujarku. Lalu saya bawa ia kepada mereka. Kambing itu diikat kakinya oleh Nabi lalu di sapu susunya sambil memohon kepada Allah SWT. Tiba-tiba susu itu berair banyak, kemudian Abu Bakar mengambilkan sebuah batu cembung yang di gunakan Nabi untuk menampungan perahan susu. Lalu Abu bakar minumlah dan saya pun tidak ketinggalan… setelah itu, Nabi menitahkan kepada susu, “Kempislah!” maka susu itu menjadi kempis…

Setelah peristiwa itu saya mendatangi Nabi, kataku, “Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebut!” Ujar Nabi SAW, ” Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!”

Alangkah heran dan ta’jubnya Ibnu Mas’ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang shalih dan utusan-Nya yang di percaya memohon kepada Tuhannnya sambil menyapu ke susu hewan yang belum pernah berair selama ini, tiba-tiba mengeluarkan kurnia dan rizqi dari Allah berupa air susu murni yang enak buat di minum…!

Pada saat itu belum disadarinya bahwa peristiwa yang disaksikannya itu hanyalah merupakan mu’jizat paling enteng dan tidak begitu berarti, dan bahwa tidak berapa lama lagi dari Rasulullah SAW yang mulia ini akan di saksikannya mu’jizat yang akan mengguncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya.

Bahkan pada saat itu juga belum di ketahuinya, bahwa yang dirinya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai pengembala kambing milik ‘uqbah bin Mu’aith, akan muncul sebagai salah satu dari mu’jizat ini, yang setelah di tempa oleh Islam akan menjadi seorang beriman, dan akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukan kesewenangan para pemukanya.

Maka ia, yang selama ini tidak berani lewat dihadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menjingkatkan kaki dan menundukan kepala, di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di didepan para majlis para bangsawan si sisi Ka’bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk berkumpul, lalu berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan wahyu Illahi Al-Qur’anul Karim:

“Bismillahirrahmaanirrahiim…
Allah yang Maha Rahman…
Yang telah mengajarkan Al-Qur’an…
Menciptakan insan…
Dan menyampaikan padanya penjelasan…
Matahari dan bulan beredar menurut…
Perhitungan…
Sedang bintang dan kayu-kayuan sama…
Sujud kepada Tuhan…

Lalu di lanjutkannya bacaanya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka… dan tak tergambar dalam fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka…, tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan pengembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy… yaitu Abdullah bin Mas’ud, seorang yang miskin yang hina dina…!

Marilah kita dengan keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat manarik dan mena’jubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair r.a. katanya:

“Yang mula-mula menderas Al-Qur’an di Mekah setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud r.a. pada suatu hari para sahabat Rasulullah SAW berkumpul, kata mereka, “Demi Allah orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikitpun Al-Qur’an ini di baca dengan suara keras di hadapan mereka. Nah, siapa diantara kita yang bersedia mendengarkannya kepada mereka…?”

Maka kata Abdullah bin Mas’ud, “Saya.” Kata mereka, “Kami khawatir akan keselamatan dirimu! Yang kami inginkan adalah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan mempertahankan dari orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat…” “Biarkanlah saya!”kata Abdullah bin Mas’ud pula, “Allah pasti membela.”

Maka datanglah Abdullah bin Mas’ud kepada kaum Quraisy di waktu Dhuha, yakni ketika mereka berada di balai pertemuannya… Ia berdiri di panggung lalu membaca “Bismillahirrahmaanirrahiimi” dan dengan mengeraskannya suaranya; Arrahman…’allamal Qur’an…
Lalu sambil menghadap kepada mereka di terusksanlah bacaannya. Mereka memperhatikannya sambil bertanya sesamanya, “Apa yang di baca oleh anak si Ummu’Abdin itu…? Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Muhammad!”

Mereka bangkit mendatanginya dan memukulinya, sedang Abdullah bin Mas’ud membacanya sampai batas yang di kehendaki Allah… Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak belur ia kembali kapada para sahabat. Kata mereka, “Inilah yang kami khawatirkan tentang dirimu…!” Ujar Abdullah bin Mas’ud, “Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagiku dari menghadapi musuh-musuh Allah itu! Dan seandainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka lagi dan berbuat yang sama esok hari…!” Ujar mereka, “Cukuplah demikian! Kamu telah membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!”

Benar, pada saat Abdullah bin Mas’ud tercengang melihat susu kambing tiba-tiba berair sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama kawan-kawan senasib dari golongn miskin tidak berpunya, akan menjadi salah satu mu’jizat besar dari Rasulullah saw, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya cahaya siang dan sinar matahari. Tidak di ketahuinya bahwa saat itu telah dekat… Kiranya secepat itu hari datang dan lonceng waktu telah berdentang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta serta merta menjadi suatu mu’jizat di antara berbagai mu’jizat Rasulullah SAW …!

Dalam kesibukan dan perpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata… Bahkan di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak…! Tak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitupun di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang berpengaruh.

Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam soal pengaruh, maka derajatnyapun di bawah… tapi sebagai ganti dari kemiskinnaya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan perolehan yang cukup dari perbendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, di anugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menundukan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia terlunta-lunta, Islam telah melimpahnya ilmu pengetahuan, kemuliaan, serta ketetapan yang menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan.

Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan jauh Rasulullah SAW ketika beliau mengatakan padanya, “Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar.” Ia telah di beri pelajaran oleh Tuhannya hingga menjadi faqih atau ahli hukum ummat Muhammad saw, dan tulang punggung para huffadh Al-Qur’anul Karim.

Mengenai dirinya ia pernah mengatakan, “Saya telah menampung 70 surat Al Qur’an yang dengan langsung dari Rasulullah saw tiada seorang pun yang menyaingiku dalam hal ini…”

Dan rupanya Allah SWT memberinya anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan Al-Qur’an secara terang-terangkan dan menyebarluaskannya di segenap pelosok kota Mekah di saat siksaan dan penindasan merajalela, maka di anugerahi-Nya bakat istimewa dalam membawakan bacaan Al-Qur’an dan kemampuan luar biasa dalam memahami arti dan maksudnya.

Rasulullah saw telah memberi wasiat kepada para sahabat agar mengambil Abdullah bin Mas’ud sebagai teladan, sabda Rasulullah SAW, “Berpegangteguhlah pada kepada ilmu yang diberikan oleh ibnu ummi ‘Abdin…!

Diwashiatkannya pula agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca Al-Qur’an dari padanya. Sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang ingin hendak membaca Al Qur’an tepat seperti di turunkan, hendaklah ia membacanya seperti Ibnu Ummi ‘Abdin…!”

Sungguh, telah lama Rasulullah menyenangi bacaan Al-Qur’an dari mulut Ibnu Mas’ud…

Pada suatu hari ia memanggilnya sabdanya, “Bacakanlah kepadaku, hai Abdullah!”
“Haruskah aku membacakannya pada anda, wahai Rasulullah…?”
Jawab Rasulullah, “Saya ingin mendengarnya dari mulut orang lain.”

Maka Ibnu Mas’ud pun membacanya di mulai dari surat An-Nisa hingga pada sampai firman Allah ta’ala, “Maka betapa jadinya bila Kami jadikan dari setiap ummat itu seorang saksi, sedangkan kamu Kami jadikan sebagai saksi bagi mereka…! Ketika orang-orang kafir yang mendurhakai Rasulullah SAW sama berharap kiranya mereka disama ratakan dengan bumi…! Dan mereka tidak dapat merasahasiakan pembicaraan dengan Allah…!” (Q. S. An-Nisa: 41-42)

Maka Rasulullah SAW tak dapat menahan tangisnya, air matanya meleleh dan dengan tangannya di isyaratkan kepada Ibnu Mas’ud yang maksudnya, “Cukup…, cukuplah sudah, hai Ibnu Mas’ud…!”

Suatu ketika pernah pula Ibnu Mas’ud menyebut-nyebut karunia Allah kepadanya, katanya, “Tidak suatu pun dari Al-Qur’an itu yang di turunkan, kecuali aku mengetahui mengenai peristiwa apa yang di turunkannya. Dan tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripadaku. Dan sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat di capai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang Kitabullah daripadaku, pastilah aku akan menemuinya. Tetapi aku bukanlah yang terbaik di antaramu!”

Keistimewaan Ibnu Mas’ud ini telah diakui oleh para sahabat. Amirul Mu’minin, Umar, berkata mengenai dirinya, “Sungguh ilmunya tentang fiqih berlimpah-limpah.”

Dan berkata Abu Musa Al Qur’an-Asy’ari, “Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah selama kyai ini berada pada tuan-tuan!”

Tidak hanya keunggulannya dalam Al-Qur’an dan ilmu fiqih saja yang patut beroleh pujian, tetapi juga keunggulannya dalam keshalihan dan ketakwaan.

Berkata Hudzaifah tentang dirinya, “Tidak seorangpun saya lihat yang lebih mirip Rasulullah saw baik dalam cara hidup, perilaku dan ketenangan jiwanya, dari pada Ibnu Mas’ud… dan orang-orang yang di kenal dari sahabat-sahabat Rasulullah saw sama mengetahui bahwa puteranya dari Ummi ‘Abdin adalah yang paling dekat kepada Allah…!”

Pada suatu hari serombongan sahabat berkumpul pada Ali Karamullahu Wajhah (semoga allah memuliakan wajah atau dirinya), lalu kata mereka kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, kami tidak melihat orang yang lebih berbudi pekerti, lebih lemah lembut dalam mengajar, begitupun yang lebih baik pergaulannya, dan lebih shalih dari pada Abdullah bin Mas’ud…!” Ujar Ali, “Saya minta tuan-tuan bersaksi kepada Allah, apakah ini betul-betul tulus dari hati tuan-tuan…?” “Benar,” ujar mereka.

Kata Ali pula, “Ya Allah, saya mohon Engkau menjadi saksinya,bahwa saya berpendapat mengenai dirinya seperti apa yang mereka katakan itu, atau lebih baik dari itu lagi… Sungguh, telah di bacanya Al Qur’an, maka dihalalkannya barang yang halal dan di haramkannya barang yang haram…, seorang yang ahli dalam soal keagamaan dan luas ilmunya tentang as-Sunnah…!”

Suatu ketika para sahabat memperkatakan pribadi Abdullah bin Mas’ud, kata mereka, “Sungguh, sementara kita terhalang, ia diberi restu, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan (tingkah laku Rasulullah SAW)…”

Maksud mereka ialah bahwa Abdullah bin Mas’ud beruntung mendapat kesempatan berdekatan dengan Rasulullah saw, suatu hal yang jarang di dapat oleh orang lain. Ia lebih sering masuk kerumah Rasulullah SAW dan menjadi teman duduknya. Dan lebih-lebih lagi ia ialah tempat Rasulullah SAW menumpahkan keluhan dan mempercayakan rahasianya, hingga ia di beri gelar “Peti Rahasia.”

Berkata Abu Musa Al-Qur’an-Asy’ari, “Sungguh setiap saya melihat Rasulullah saw, pastilah Ibnu Mas’ud berada menyertainya…”

Adapun yang menjadi sebab ialah karena Rasulullah SAW amat menyayanginya, terutama keshalihan dan kecerdasannya serta kebesaran jiwanya, hingga Rasulullah SAW pernah bersabda mengani dirinya, “Seandainya saya hendak mengangkat seseorang sebagai amir tanpa musyawarat dengan kaum muslimin, tentulah yang saya angkat itu Ibnu Ummi ‘Abdin…”

Dan telah kita kemukakan wasiat Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, “Berpegang teguhlah kepada ilmu Ibnu Ummi ‘Abdun!”

Maka kesayangan dan kepercayaan ini memungkinkannya untuk bergaul rapat dengan Rasulullah saw, hingga ia beroleh hak yang tidak di berikannya kepada orang lain, bersabda Rasulullah SAW kepadanya, “Saya idzinkan kamu bebas dari tabir hijab…!”

Ini merupakan lampu hijau bagi Ibnu Mas’ud untuk masuk rumah Rasulullah saw dan pintunya senantiasa terbuka baginya, biar siang maupun malam, dan inilah yang pernah di perkatakan oleh para sahabat , “Sementar kita terhalang, ia di beri izin, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan…”

Dan memang Ibnu Mas’ud banyak untuk memeproleh keistimewaan ini… Karena walupun pergaulan rapat seperti ini akan memberikan padanya keuntungan, tetapi Ibnu Mas’ud hanya bertambah khusu’, tambah hormat dan sopan santun…

Mungkin gambar yang melukiskan akhlaknya secara tepat, ialah sikapnya ketika menyampaikan hadith dari Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Walaupun ia jarang menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW, tetapi kita lihat setiap ia menggerakan kedua bibirnya untuk mengatakan, “Saya dengar Rasulullah saw menyampaikan hadits dan bersabda…,” maka tubuhnya gemetar dengan amat sangat, dan ia tampak gugup dan gelisah. Sebabnya tiada lain karena takutnya akan alpa, hingga bersalah menaruh kata di tempat yang lain…!

Marilah kita dengarkan kawan-kawanya melukiskan gejala-gejala ini! Berkatalah ‘Amar bin Maimun:

“Saya bolak-bolak kerumah Abdullah bin Mas’ud ada setahun lamanya, dan selama itu tak pernah saya dengar ia menyampaikan hadits dari Rasulullah SAw, kecuali sebuah hadits yang di sampaikannya pada suatu hari. Dari mulutnya mengalir ucapan: ‘Telah bersabda Rasulullah SAW, tiba-tiba ia kelihatan gelisah hingga tanpak keringat bercucuran dari keningnya.’ Kemudian katanya megulangi kata-kata yang tadi, ‘Kira-kira demikianlah disabdakan oleh Rasulullah SAW…’”

Dan bercerita Al-Qamah bin Qais:
Biasanya Abdullah bin Mas’ud berpidato setiap hari Kamis sore menyampaikan Hadits. Tidak pernah saya dengar ia mengucapkan, “Telah bersabda Rasulullah SAW,” kecuali satu kali saja… disaat itu saya melihat ia bertelekan tongkat, dan tongkatnya itupun bergetar dan bergerak-gerak…”

Dan di ceritakan pula oleh Masruq mengenai Abdullah ini:
“Pada suatu hari Ibnu Mas’ud menyampaikan sebuah Hadits, katanya, “Saya dengar Rasulullah SAW…” Tiba-tiba ia jadi gemetar, dan pakainnya bergetar pula… kemudian katanya, “Atau kira-kira demikian…, atau kira-kira seperti itulah…”

Nah, sampai sejauh inilah ketelitian, penghormatan dan penghargaannya kepada Rasulullah SAW… disamping menjadi bukti ketaqwaannya, ketelitian, dan penghormatannya ini merupakan tanda kecerdasannya…!

Orang yang lebih banyak bergaul dengan Rasulullah SAW, penilaiannya tehadap kemuliaan Rasulullah SAW lebih tepat… dan itulah sebabnya adab sopan santunnya terhadap Rasulullah saw ketika beliau masih hidup, begitupun kenangan kepada beliau setelah wafatnya, merupakan adab sopan santun satu-satunya dan tak ada duanya…!

Ibnu Mas’ud tak hendak berpisah dari Rasulullah saw baik di waktu bermukim maupun di waktu bepergian. Ia telah turut mengambil bagian dalam setiap peperangan dan pertempuran. Dan peranannya dalam perang badar meninggalkan kenangan yang tak dapat di lupakan, yakni rubuhnya Abu Jahal oleh tebusan pedang kaum muslimin pada hari yang keramat itu…

Khalifah-khalifah dan para sahabat Rasulullah SAW mangakui kedudukannya ini, hingga ia diangkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai Bendaharawan di kota Kufah. Kepada penduduk waktu mengirimnya itu mengatakan:

“Demi Allah yang tiada Tuhan mealinkan dia , sungguh saya lebih mementingkan tuan-tuan dari pada diriku, maka ambilah dan pelajarilah ilmu dari padanya…!”

Dan penduduk Kufah telah mencintainya, suatu hal yang belum pernah di peroleh orang-orang sebelumnya, atau orang yang setaraf dengannya… Sungguh, kebulatan penduduk Kufah untuk mencintai seseorang, merupakan suatu hal yang mirip dengan mu’jizat… sebabnya ialah karena mereka biasa menentang dan memberontak, mereka tidak tahan menghadapi hidangan yang serupa…, dan tidak mampu hidup selalu dalam aman tenteram…!

Dan karena kecintaan mereka kepadanya demikian rupa, sampai-sampai mereka mengerumuni dan mendesaknya sewaktu ia hendak di perhentikan oleh Khlaifah Utsman r.a dari jabatannya, kata mereka, “Tetaplah anda tinggal bersama kami di sini dan jangan pergi, dan kami bersedia membela anda dari mala petaka yang menimpa anda!”

Tetapi dengan kalimat yang menggambarkan kebesaran jiwa dan ketaqwaannya, Ibnu Mas’ud menjawab, katanya, “Saya harus taat kepadanya, dan dibelakang hari akan timbul fitnah, dan saya tak ingin menjadi orang yang mula-mula membukakan pintunya…!”

Pendirian mulia dan terpuji ini mengungkapkan kepada kita hubungan Ibnu Mas’ud dengan khalifah Utsman r.a. Di antara mereka telah terjadi perdebatan dan perselisihan yang makin lama makin sengit, hingga gaji dan tunjangan pensiunannya di tahan dari baitulmal. Walau demikian, tidak sepatah kata pun yang tidak baik, kelauar dari mulutnya mengenai Utsman, bahkan ia berdiri sebagai pembela dan memperingatkan rakyat ketika di lihatnya persekongkolan di masa Utsman itu telah meningkat menjadi suatu pemberontakan. Dan ketika terbetik berita ketelinganya mengenai percobaan untuk membunuh Khalifah Utsman itu, keluarlah dari mulutnya ucapan yang terkenal:
“Sekiranya mereka membunuhnya, maka tak ada lagi orang yang sebanding dengannya yang akan mereka angkat sebagai khalifah…” Dalam pada itu, di antara kawan-kawan Ibnu Mas’ud ada yang berkata, “tak pernah saya dengar Ibnu Mas’ud mengeluarkan cercaan satu kata pun terhadap Utsman…”

Allah SWT telah menganugerahinya hikmah sebagaimana telah memberinya sifat taqwa. Ia memiliki kemampuan untuk melihat yang jauh ke dasar yang dalam, dan mengungkapnya secara menarik dan tepat.

Marilah kita dengar ucapannya yang menggambarkan kesimpulan hidup yang istimewa dari Umar dengan kata-kata singkat tapi padat dan mena’jubkan, katanya, “Islamnya mereka suatu kemenangan…, hijrahnya mereka pertolongan…, sedang pemerintahannya menajdi suatu rahmat.”

Berbicara tentang apa yang dikatakan orang seakrang tentang relativitas masa, ia mengatakan, “Bagi Tuhan kalian tiada siang dan malam…! Cahaya langit dan bumi itu bersumber dari cahayanya…!”

Ia juga berbicara tentang pekerja dan betapa pentingnya mengangkat taraf budaya kaum pekerja ini katanya, “Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang menganggur tak ada usahanya untuk kepentingan dunia, dan tidak pula untuk kepentingan akhirat.”

Dan diantara kata-katanya yang bersayap ialah:
“Sebaik-baik kaya ialah kaya hati;
sebaik-baik bekal ialah taqwa;
seburuk-buruk buta ialah buta hati;
sebesar-besar dosa ialah berdusta;
sejelek-jelek uasaha ialah memungut riba;
seburuk-buruk makanan ialah memakan harta anak yatim;
siapa yang memaafkan orang akan di maafkan Allah;
dan siapa yang mengampuni orang akan diampuni Allah.”

Nah, itulah gambaran singkat Abdullah bin Mas’ud sahabat Rasulullah SAW; dan itulah dia, kilasan dari suatu kehidupan besar dan perkasa yang dilalui pemiliknya di jalan Allah dan Rasul-Nya serta Agama-Nya.

Itulah dia, laki-laki yang ukuran tubuhnya seumpama tubuh burung merpati, kurus dan pendek, hingga badannya tidak akan berapa bedanya dengan orang yang sedang duduk. Kedua betisnya kecil dan kempes, yang tampak ketika ia memanjat dan memetik dahan pohon arak untuk di gunakan Rasulullah SAW. Para sahabat sama menetertawakannya ketika melihat kedua betisnya itu. Maka bersabdalah Rasulullah SAW, “Tuan-tuan menetertawkan betis Ibnu Mas’ud , keduanya disisi Allah lebih berat timbangannya dari gunung Uhud!”

Memang, inilah dia orang yang berasal dari keluarga miskin, buruh upahan, kurus dan hina, tetapi keyakinan dan keimanannya telah menjadikannya saah seorang imam di antara imam-imam kebaikan, petunjuk dan cahaya.

Ia telah di karunia taufiq dan ni’mat oleh Allah yang menyebabkannya termasuk dalam golongan “sepuluh orang sahabat Rasulullah SAW yang pertama masuk Islam,” yakni orang-orang yang selagi hidupnya telah menerima berita gembira beroleh ridla Allah SWT dan surga-Nya.

Ia telah terjun dan tak pernah absen dalam setiap perjuangan yang berakhir dengan kemenangan di masa Rasulullah saw, begitupun di masa Khalifah sepeninggal beliau. Dan dia turut menyaksikan dua buah imperiaum dunia membukakan pintunya dengan tunduk dan patuh di masuki panji-panji Islam dan ajarannya.

Disaksikannya jabatan-jabatan yang tersedia dan menunggu orang-orang Islam yang mau mendudukinya, begitu pun harta yang tidak terkira banyaknya bertumpuk-tumpuk di hadapan mereka, tetapi tidak satupun yang mengusik dan melupakannya dari janji yang telah di ikrarkannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, atau merintangi dari garis hidup dan ketekunan ibadat yang di liputi rasa khsusu’ dan tawadlu’.

Dan diantar keinginan dan cita-cita hidup, tidak satupun yang menarik hatinya kecuali sebuah, yakni yang selalu di rindukan, menjadi bauh bibir dan senandungnya, serta menjadi angan-angan untuk mendapatkannya.

Nah, marilah kita simak, kata-kata yang ia sendiri menceritakan hal itu kepada kita:

“Aku bangun di tengah malam, ketika itu aku mengikuti Rasulullah SAW di perang Tabuk. Maka tampaklah olehku nyala api di pinggir perkemahan, lalu kudekati untuk melihatnya. Kiranya Rasulullah SAW bersama Abu Bakar dan Umar. Rupanya mereka sedang menggali kuburan untuk Abdullah Dzulbijadain An-Muzanni yang ternyata telah wafat. Rasulullah SAW ada di dalam lubang kubur itu, sementara Abu Bakar dan Umar mengulurkan jenazah kepadanya. Rasulullah SAW bersabda, “Ulurkanlah lebih dekat padaku saudara tuan-tuan itu…! Lalu mereka mengulurkan kepadanya. Dan tatkala di letakkannya di lubang lahat, beliau berdo’a, “Ya Allah, aku telah ridla kepadanya, maka ridla’i pula ia oleh-Mu! Alangkah baiknya sekiranya akulah yang menjadi pemilik liang kubur itu!”

Nah, itulah dia satu-satunya cita-cita yang di harapkan dan di angan-angankan selagi hidupnya.

Dan sebagai anda ketahui, ia tak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan sesuatu untuk di kejar-kejar dan di perebutkan orang, berupa kemuliaan, kekayaan, pengaruh atau jabatan.

Hal ini karena cita-citanya adalah cita-cita seorang tokoh yang mendapat petunjuk dari Allah SWT memperoleh tuntutan dari Al-Qur’an, dan menerima didikan dari Rasulullah SAW.

Asma’ binti Yazid Bin Sakan (Orator Para Wanita)

Beliau adalah Asma` binti Yazid bin Sakan bin Rafi` bin Imri`il Qais bin Abdul Asyhal bin Haris al-Anshariyysh, al-Ausiyyah al-Asyhaliyah.

Beliau adalah seorang ahli hadis yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan, dien yang bagus dan ahli argumen, sehingga beliau menjuluki sebagai “juru bicara wanita”.

Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang pemberani, tegar dan mujahidah. Beliau menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan.

Asma` mendatangi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada tahun pertama hijrah dan beliau belum berbai`at kepadanya dengan bai`at Islam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam membai`at para wanita dengan ayat yang tersebut dalam surat al-Mumtahanah. Yaitu firman Allah : “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akn membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q,.s. al-Mumtahanah:12).

Bai`at dari Asma` binti Yazid adalah untuk jujur dan ikhlas, sebagaimana yang disebutkan riwayatnya dalam kitab-kitab sirah bahwa Asma` mengenakan dua gelang emas yang besar, maka Nabi SAW bersabda : “Tanggalkanlah kedua gelangmu wahai Asma`, tidakkah kamu takut jika Allah mengenakan gelang kepadamu dengan gelang dari api neraka?”

Maka segerahlah beliau tanpa ragu-ragu dan tanpa komentar untuk mengikuti perintah Rasululah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melepaskannya dan meletakkannya di depan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Setelah itu Asma` aktif untuk mendengar hadist Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan beliau bertanya tentang persoalan-persoalan yang menjadikan ia faham dalam urusan dien. Beliau pulalah yang bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara thaharah bagi wanita yang selesai haidh. Beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak malu menanyakan sesuatu yang haq. Oleh karena itulah Ibnu Abdil Barr berkata: “Beliau adalah seorang wanita yang cerdas dan bagus diennya”.

Beliau dipercaya oleh kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang persoalan –persoalan yang mereka hadapi. Pada suatu ketika Asma` mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan bertanya : “Wahai Rasulullah , sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslmah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta`ala mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai`atmu. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat jum`at, mengantar jenazah dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?

Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para sahabat dan bersabda : “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang dien yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”. Para sahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!” Kmudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kembalilah wahai Asma` dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang diantara mereka kepada suaminya, dan meminta keridhaan suaminya, mengikuti (patuh terhadap) apa yang ia disetujuinya, itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki”.

Maka kembalilah Asma` sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa disabdakan Rasuslullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Dalam dada Asma` terbetik keinginan yang kuat untuk ikut andil dalam berjihad, hanya saja kondisi ketika itu tidak memungkinkan untuk merealisasikannya. Akan tetapi setelah tahun 13 Hijriyah setelah wafatnya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam hingga perang Yarmuk beliau menyertainya dengan gagah berani.

Pada perang Yarmuk ini, para wanita muslimah banyak yang ikut andil dengan bagian yang banyak untuk berjihad sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyah, beliau membicarakan tentang perjuangan mujahidin mukminin. Beliau berkata: “Mereka berperang dengan perang besar-besaran hingga para wanita turut berperang di belakang mereka dengan gagah berani”.

Dalam bagian lain beliau berkata: “Para wanita menghadang mujahidin yang lari dari berkecamuknya perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka dengan batu.” Adapun Khaulah binti Tsa`labah berkata: “Wahai kalian yang lari dari wanita yang bertakwa .Tidak akan kalian lihat tawanan.Tidak pula perlindungan.Tidak juga keridhaan”

Beliau juga berkata dalam bagian lain: “Pada hari itu kaum muslimah berperang dan berhasil membunuh banyak tentara Romawi, akan tetapi mereka memukul kaum muslimin yang lari dari kancah peperangan hingga mereka kembali untuk berperang”.

Dalam perang yang besar ini, Asma binti Yazid menyertai kaum muslumin bersama wanita mukminat yang lain berada di belakang para Mujahidin mencurahkan segala kemampuan dengan membantu mempersiapkan senjata, memberikan minum bagi para mujahidin dan mengobati yang terluka diantara mereka serta memompa semangat juang kaum muslimin.

Akan tetapi manakala berkecamuknya perang, manakala suasana panas membara dan mata menjadi merah, ketika itu Asma` lupa bahwa dirinya adalah seorang wanita. Beliau hanya ingat bahwa dirinya adalah muslimah, mukminah dan mampu berjihad dengan mencurahkan dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya. Hanya beliau tidak mendapatkan apa-apa yang di depannya melainkan sebatang tiang kemah, maka beliau membawanya dan berbaur dengan barisan kaum muslimin. Beliau memukul musuh-musuh Allah ke kanan ke kiri hingga dapat membunuh sembilan orang tentara Romawi, sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Hajar tentang beliau: “Dialah Asma` binti Yazid bin Sakan yang menyertai perang Yarmuk, ketika itu beliau membunuh sembilan tentara Romawi dengan tiang kemah, kemudian beliau masih hidup selama beberapa tahun setelah peperangan tersebut.

Asma` keluar dari peperangan dengan membawa luka di punggungnya dan Allah menghendaki beliau masih hidup setelah itu selama 17 tahun karena beliau wafat pada akhir tahun 30 Hijriyah setelah menyuguhkan kebaikan kepada umat.

Semoga Allah merahmati Asma` binti Yazid bin Sakan dan memuliakan dengan hadis yang telah beliau riwayatkan bagi kita, dan dengan pengorbanan yang telah beliau usahakn, dan telah beramal dengan sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran bagi yang lain dalam mencurahkan segala kemampuan dan susah demi memperjuangkan al-Haq dan mengibarkan bendera hingga dien ini hanya bagi Allah.

Ruqayyah binti Rasulullah SAW

Ruqayyah telah menikah dengan Utbah bin Abu lahab sebelum masa kenabian. Sebenarnya hal itu sangat tidak disukai oleh Khadijah ra.. Karena ia telah mengenal perilaku ibu Utbah, yaitu Umrnu jamil binti Harb, yang terkenal berperangai buruk dan jahat. Ia khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya tersebut. Dan ketika Rasulullah SAW. telah diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahablah orang yang paling memusuhi Rasulullah SAW. dan Islam. Abu Lahab telah banyak menghasut orang-orang Mekkah agar memusuhi Nabi SAW. dan para sahabat ra.. Begitu pula istrinya, Ummu Jamil yang senantiasa berusaha mencelakakan Rasulullah SAW dan memfitnahnya. Atas perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang keras terhadap Rasulullah SAW, maka Allah telah menurunkan wahyu-Nya, ‘Maka celakalah kedua tangan Abu lahab, (Al lahab: 1) Setelah ayat ini turun, maka Abu lahab berkata kepada kedua orang putranya, Utbah dan Utaibah, ‘Kepalaku tidak halal bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan Putri Muhammad.’ Atas perintah bapaknya itu, maka Utbah menceraikan istrinya tanpa alasan. Setelah bercerai dengan Utbah, kemudian Ruqayyah dinikahkan oleh Rasulullah SAW. dengan Utsman bin Affan ra.

Hati Ruqayyah pun berseri-seri dengan pernikahannya ini. Karena Utsman adalah seorang Muslim yang beriman teguh, berbudi luhur, tampan, kaya raya, dan dari golongan bangsawan Quraisy. Setelah pernikahan itu, penderitaan kaum muslimin bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan dari kafirin Quraisy. Ketika semakin hari penderitaan kaum muslimin, termasuk keluarga Rasulullah SAW. bertambah berat, maka dengan berat hati Nabi SAW mengizinkan Utsman beserta keluarganya dan beberapa muslim lainnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Ketika itu Rasulullah SAW. bersabda, ‘Pergilah ke negeri Habasyah, karena di sana ada seorang raja yang terkenal baik budinya, tidak suka menganiaya siapapun, Di sana adalah bumi yang melindungi kebenaran. Pergilah kalian ke sana. Sehingga Allah akan membebaskan kalian dari penderitaan ini.’

Maka berangkatlah satu kafilah untuk berhijrah dengan diketuai oleh Utsman bin Affan ra. Rasulullah SAW. bersabda tentang mereka, Mereka adalah orang yang pertama kali hijrah karena Allah setelah Nabi Luth as. Setibanya di Habasyah mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum muslimin di Mekkah telah aman. Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah muslimin yang dipimpimnya itu akan kembali lagi ke kampung halamannya di Mekkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai adalah berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di Habasyah. Pada masa itu, mereka mendapati keadaan kaum muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas kaum muslimin semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Mekkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Mekkah, barulah mereka mengunjungi rumah masing-masing yang dirasa aman. Ruqayyah pun masuk ke rumahnya, melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya.

Namun ketika matanya beredar ke sekeliling rumah, ia tidak menjumpai satu sosok manusia yang sangat ia rindukan. la bertanya, ‘Mana ibu?….. mana ibu?….’ Saudara-saudaranya terdiam tidak menjawab. Maka Ruqayyah pun sadar, orang yang sangat berarti dalam hidupnya itu telah tiada. Ruqayyah menangis. Hatinya sangat bergetar, bumi pun rasanya berputar atas kepergiannya. Penderitaan hatinya, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Tidak lama berselang, anak lelaki satu-satunya, yaitu Abdullah yang lahir ketika hijrah pertama, telah meninggal dunia pula. Padahal nama Abdullah adalah kunyah bagi Utsman ra., yaitu Abu Abdullah. Abdullah masih berusia dua tahun, ketika seekor ayam jantan mematuk mukanya sehingga mukanya bengkak, maka Allah mencabut nyawanya. Ruqayyah tidak mempunyai anak lagi setelah itu.

Dia hijrah ke Madinah setelah Rasulullah SAW hijrah. Ketika Rasulullah SAW. bersiap-siap untuk perang Badar, Ruqayyah jatuh sakit, sehingga Rasulullah SAW. menyuruh Utsman bin Affan agar tetap tinggal di Madinah untuk merawatnya. Namun maut telah menjemput Ruqayyah ketika Rasulullah SAW. masih berada di medan Badar pada bulan Ramadhan. Kemudian berita wafatnya ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah ke Badar. Dan kemenangan kaum muslimin yang dibawa oleh Rasulullah SAW. beserta pasukannya dari Badar, ketika masuk ke kota Madinah, telah disambut dengan berita penguburan Ruqayyah ra. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah SAW. berkata, Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un.’

Para wanita menangisi kepergian Ruqayyah. Sehingga Umar bin Khattab ra. datang kepada para wanita itu dan memukuli mereka dengan cambuknya agar mereka tidak keterlaluan dalam menangisi jenazah Ruqayyah. Akan tetapi Rasulullah SAW. menahan tangan Umar ra. dan berkata, ‘Biarkanlah mereka menangis, ya Umar. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan syaitan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari syaitan.’

Pengikut

Feeds

wahyu andhika buana © 2008 Template by:
SkinCorner